Bulan Ramadan adalah bulan yang ditunggu-tunggu oleh seluruh umat Islam di dunia. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim, tentu saja kemeriahan menyambut bulan suci ini sangat terasa. Ditambah lagi saat ini pandemi Covid-19 sudah mereda dan tak lagi menghambat umat Muslim di Indonesia melakukan tradisi sambut Ramadan sesuai dengan adat dan kebiasaan di daerah masing-masing. Beberapa di antaranya adalah tradisi nyekar (ziarah kubur) dan tradisi makan bersama sebelum menjalankan ibadah puasa.
Banyaknya tradisi-tradisi yang ada di Indonesia tidak muncul bergitu saja. Tradisi itu muncul melalui sebuah proses budaya yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pakar antropologi yang juga dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta, Dr. Endang Rudiatin, M.Si., belum lama ini memaparkan asal-usul tradisi masyarakat dalam menyambut Ramadan tersebut.
Endang mengatakan bahwa tradisi menyambut Ramadan di berbagai daerah dapat dikatakan sebagai bagian dari budaya Islam karena relevan dengan ciri-ciri kebudayaan itu sendiri, yaitu dibagi dan diturunkan dari generasi ke generasi. Selain diturunkan, budaya juga dibagikan sehingga bisa tersebar dari daerah ke daerah.
“Tradisi menyambut Ramadan dapat kita temui di beberapa daerah yang memiliki budaya yang hampir sama, bahkan juga di beberapa negara,” ungkap Endang.
Ambil contoh tradisi Meugang di Aceh, yaitu tradisi menyembelih kambing, kerbau, atau sapi sebelum memasuki bulan puasa. Tradisi yang sama ditemui di Jambi. Di sana disebut tradisi bebantai. Hal ini menunjukkan bahwa setiap daerah memiliki tradisi tersendiri dalam menyambut Ramadan namun kadang masih ada kesamaannya.
Contoh lainnya adalah tradisi bersuci. Masyarakat di beberapa wilayah di Indonesia melakukan tradisi mandi secara khusus yang ditujukan untuk bersuci karena akan menjalankan ibadah puasa. Tradisi tersebut di Sumatera Utara dikenal dengan istilah Marpangir, di Lampung dikenal dengan istilah Belangiran, sedangkan di wilayah Jawa Tengah disebut tradisi Padusan.
Masih banyak contoh lainnya, mulai dari tradisi dugderan di Semarang hingga tabuh bedug di Masjid Kudus. Banyaknya tradisi di Indonesia dalam menyambut Ramadan menunjukkan bahwa bukan saja bangsa Indonesia terdiri dari banyak suku bangsa dan sub suku bangsa, melainkan secara harfiah Islam melahirkan banyak keberagaman untuk manusia.
“Coba bandingkan dengan budaya menyambut tahun baru yang juga memiliki banyak perbedaan. Di situlah tradisi-tradisi tersebut muncul,” jelas Endang.
Semua tradisi tersebut muncul berangkat dari kesamaan pemikiran dan keyakinan tentang pentingnya bulan Ramadan, sehingga memerlukan persiapan untuk mensucikan diri dalam menyambut bulan suci. Tradisi-tradisi tersebut akan tetap hidup di masyarakat selama yang melaksanakannya meyakini bahwa pada bulan Ramadan seluruh umat Muslim akan mendapatkan kebaikan dan pengampunan.
Semua tradisi tersebut sesuai dengan yang tertulis dalam Al-Qur’an dan hadis. Jadi dapat dikatakan bahwa agama Islam membentuk budaya. Sehingga lumrah bila dikatakaran bahwa suatu budaya berkembang dari ajaran-ajaran agama Islam, karena Islam datang sebagai rahmatanlil’alaamin (rahmat bagi seluruh alam).
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai suku, agama, dan budaya. Bahkan setiap sistem masyarakat memiliki tradisi atau upacara keagamaan yang dilaksanakan dan dilestarikan oleh masing-masing penduduknya. Ritual keagamaan tersebut mempunyai bentuk atau cara melestarikan serta maksud dan tujuan yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan lingkungan tempat tinggal, adat, dan kepercayaan yang diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyangnya.
Tradisi masyarakat Indonesia dalam menyambut Ramadan membawa kebaikan bagi pribadi manusia, masyarakat, dan lingkungannya. Artinya tidak bertolak belakang dengan makna dan tujuan Ramadan yaitu mencapai derajat taqwa atau dengan kata lain tunduk, patuh, dan berserah diri pada Allah. “Misalnya tradisi membersihkan diri, berbagi makanan sebelum berpuasa, saling berkunjung dan memaafkan, termasuk ziarah ke makam leluhur sebagai sarana mengingat kematian,” tutur Endang lebih lanjut.
Pelaksanaan tradisi menyambut Ramadan berkaitan dengan adanya hubungan antara manusia, leluhur dengan penciptanya. Kepercayaan tentang adanya kehidupan sesudah kematian menjadikan pegangan untuk selalu melaksanakan dengan maksud mengirimkan doa kepada orng yang telah meninggal. Selain itu juga untuk keselamatan masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-hari, tradisi-tradisi yang disebutkan dalam tulisan ini memiliki nilai-nilai dan makna yang begitu tinggi. Masyarakat melakukan tradisi ini tidak lain untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. (KH/KSU)