Hukum Keluarga di Jerman

Oleh :
umjadmin

Jumat (20/10) lalu, Program Studi Ahwal Syakhshiyyah Fakultas Agama Islam (FAI) UMJ menggelar seminar dengan tema “Hukum Keluarga di Jerman,” di Aula Rektorat lantai 4, dengan menghadirkan pakar hukum keluarga dari Friedrich Alexander Universitat Arlangen – Nurnberg, Jerman yaitu Wolfgang Brehm sebagai narasumber tunggal.

Menurut Brehm peraturan hukum keluarga secara konstitusional bermula dari Undang-undang Hukum Sipil tahun 1900 dimana disebutkan dalam bagian iv undang-undang tersebut perihal hukum keluarga seperti: peraturan tentang perkawinan sipil, ikatan kekeluargaan dan perwalian. “Tetapi, hukum sipil yang terkait dengan keluarga juga ditemui dalam perundangan lain,” katanya dengan Bahasa Indonesia yang sangat baik.

Pada undang-undang tahun 1900, menurut Brehm, berdasar pada prinsip patriarkhat. Ada dua hal yang menonjol dari prinsip ini pada undang-undang itu yaitu soal pemisahan kewenangan dimana disebutkan bahwa suami bertanggung jawab memenuhi nafkah finansial sedangkan istri bertanggung untuk menjalankan kerumahtanggaan dan mendidik anak. Kedua, soal distribusi kekuasaan yang tidak setara dimana suami memiliki wewenang untuk mengambil keputusan final terkait semua hal dalam urusan perkawinan dan keluarga.

Peraturan-peraturan tersebut lalu mengalami perubahan melalui pembaruan hukum perkawinan secara bertahap. Pertama, pembaruan moderat tahun 1957 dimana diatur pasal persamaan hak. Yang paling mendasar adalah dihapuskannya kewenangan suami untuk mengambil keputusan final dalam masalah keluarga. Dalam konteks hubungan wewenang suami dihapus digantikan dengan kewajiban mencapai kesepakatan dari dua belah pihak; suami dan istri.

Kedua, pembaruan fundamental tahun 1977. Dalam pembaruan ini diatur pola distribusi tugas antar pasangan dan hukum perceraian serta pembentukan pengadilan keluarga. Ketiga, perubahan fundamental pada persoalan hak untuk menikah. Pada perubahan fundamental tahun 2017 ini mengalami kontroversi dan pertentangan hingga saat ini. Terutama kritik dan protes dari kalangan agamawan. Perundangan ini membatalkan prinsip perkawinan antara laki-laki dengan perempuan. Artinya, perkawinan tidaklah mesti antara laki-laki dan perempuan namun bisa saja dari jenis kelamin yang sama. Ditegaskan pula bahwaperbedaan jenis kelamin bukan persyaratan untuk menikah.

Perubahan ketiga ini juga mengatur untuk pasangan dengan jenis kelamin yang sama berhak untuk melakukan adopsi anak. Perubahan terakhir ini dibuat karena secara umum tidak akan dihasilkan seorang anak dari perkawinan sesama jenis. (Humas/AM)

https://simlppm.untan.ac.id/vendor/terbaik-2024/https://lentera.uin-alauddin.ac.id/question/gratis-terlengkap/https://old-elearning.uad.ac.id/gampang-menang/https://fk.ilearn.unand.ac.id/demo/http://ti.lab.gunadarma.ac.id/jobe/system/https://elearning.uika-bogor.ac.id/tanpa-potongan/https://mti.unpam.ac.id/assets/images//https://besadu.belitung.go.id/css/https://uptdlkk.kaltimprov.go.id/img/product/https://jdih-dprd.sumedangkab.go.id/system/https://siswa.dpuair.jatimprov.go.id/tests/demo/https://simmas.jombangkab.go.id/vendor/https://siapmang.kotabogor.go.id/storage/https://e-learning.iainponorogo.ac.id/thai/https://alumni.fhukum.unpatti.ac.id/app/