Kamis (07/11) FEB UMJ – Saat ini, ada 842.000 penderita TBC di Indonesia dan setiap harinya ada 300 orang meninggal akibat TBC (WHO, 2018). “Penyakit tuberkulosis atau TBC bukanlah masalah kesehatan semata. Ada banyak faktor lain yang memengaruhi penularan dan kesembuhan pasien TBC, terutama faktor sosial dan ekonomi”, papar dr. Imran Pambudi, MPHM, Kasubdit TBC Kementerian Kesehatan. Karenanya, peran Kementerian dan Lembaga selain Kemenkes, mutlak diperlukan.
Hal ini terungkap dalam acara Seminar Peningkatan Peran Kementerian dan CSO dalam Upaya Penanggulangan TBC dan Dukungan Perlindungan Sosial untuk Pasien TBC yang dilaksanakan PR TB ‘Aisyiyah bekerjasama dengan Program Studi Kesejahteraan Sosial FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta pada tanggal 7 November 2019 di Aula FEB UMJ, Ciputat.
Dalam seminar yang diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Kesehatan Nasional (HKN) yang jatuh pada 12 November 2019 ini. Selain dari Kementerian Kesehatan, juga hadir Dr. Diah Rini Lesmawati, dari Direktorat PSPKKM Kementerian Sosial (Kemensos) yang menyatakan bahwa setiap penyakit memiliki dampak sosial baik pada pasien, maupun keluarga termasuk TBC. Selain itu stigma dan diskriminasi pada pasien TBC juga masih ada.
Untuk itu Kemensos yang mendapatkan mandat untuk memberikan perlindungan dan bantuan sosial pada masyarakat, terbuka berkoordinasi untuk menangani TBC dengan Kementerian Kesehatan. Saat ini Kemensos memiliki puluhan ribu tenaga sumber daya manusia yang mampu menjangkau hingga desa dan dusun, karena itu jika potensi ini dioptimalkan, maka eliminasi TB tahun 2030 bisa tercapai.
Penemuan kasus-kasus TBC di Indonesia adalah hasil kerja keras petugas TBC di seluruh layanan dan fasilitas kesehatan. Hal ini juga tidak lepas dari peran komunitas dan Organisasi Masyarakat Sipil (CSO) seperti ‘Aisyiyah melalui kader-kadernya yang senantiasa melakukan upaya edukasi, kampanye dan penjangkauan kepada masyarakat. Tuti Alawiyah, PhD, Program Manager PR TB Aisyiyah, menyampaikan keterlibatan kader TBC Aisyiyah memang memiliki peran signifikan dalam penanggulangan TBC di masyarakat. Kedekatan para kader Áisyiyah dengan masyarakat mendukung terlaksananya program penjangkauan terhadap pasien di lokasi program Áisyiyah di 14 Provinsi dan 130 kabupaten/kota di Indonesia meliputi Sumatra Barat, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Jawa Timur serta Papua Barat.
Namun demikian, program TBC masih menghadapi berbagai kendala, salah satunya terkait kebijakan dan anggaran. Diakui oleh Dr. Saleh P. Daulay, Anggota DPR RI Fraksi PAN, yang mengatakan bahwa saat ini pemerintah masih sangat kurang dalam mengalokasikan anggaran untuk TBC. Tahun ini APBN hanya menganggarkan Rp 127 milyar ke seluruh provinsi dan kabupaten/kota termasuk wilayah pedalaman dan perbatasan. Bahkan anggaran TBC ini jauh lebih rendah dari anggaran untuk stunting yang mencapai Rp 850 milyar. Untuk itu adanya dana bantuan dari funding internasional bisa menjadi alternatif, meskipun harus dipastikan agar dana dipergunakan betul-betul untuk kepentingan program TBC.
Menyambung alternatif pendanaan untuk penanggulangan TBC di tanah air, disampaikan Dr. Rohimi Zamzam, Authorised Signatory PR TB Áisyiyah sangat penting untuk memberdayakan kader-kader Áisyiyah dan meningkatkan peran filantropi untuk penanggulangan TBC di tengah keterbatasan anggaran.
Sementara, Budi Hermawan – ketua POP TB Indonesia (Perkumpulan Organisasi Mantan Pasien TB) menyampaikan pentingnya kebutuhan dukungan psikososial dan ekonomi, termasuk shelter atau rumah singgah dalam pengobatan pasien terutama TBC Kebal Obat. Budi yang juga mantan pasien TBC ini mengimbau agar lebih banyak lagi kementerian yang mampu menunjukkan kepeduliannya agar semakin banyak pasien TBC yang diobati hingga sembuh.
Drs. Muhammad Amin Tohari, Kepala Program Studi Kesejahteraan Sosial UMJ menyatakan perlunya untuk meningkatkan peran Perguruan Tinggi dalam penanggulangan TBC dengan memberikan edukasi terkait TBC kepada mahasiswa calon-calon pekerja sosial, agar bisa turut serta dalam menanggulangi TBC.