Kemajuan suatu bangsa dan peradaban ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia yang dihasilkan dari pengasuhan anak berkualitas. Hal ini disampaikan oleh Dosen Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini, Dr. Munifah Bahfen, M.Pd., terkait pentingnya pemenuhan hak-hak anak untuk kemajuan bangsa dan peradaban.
Menurut Beliau, untuk menciptakan generasi berkualitas, pengasuhan anak dimulai dari lingkungan keluarga sebagai sekolah pertama. Orang tua memiliki kewajiban mulai dari mengasuh, melindungi, dan mendidik anak. Pola asuh yang baik akan menghasilkan kepribadian yang baik untuk anak-anak hingga di masa dewasa. Inilah yang dimaksud bahwa kemajuan bangsa dan peradaban dihasilkan dari pengasuhan anak yang berkualitas.
Bukan berarti hanya orang tua yang bertanggung jawab atas kesejahteraan anak, tapi seluruh pihak harus berperan untuk mendukung tumbuh kembang anak, mulai dari masyarakat, lembaga pendidikan, hingga pemerintah. Ironisnya, anak-anak di Indonesia masih banyak yang sulit mendapatkan akses untuk menikmati hidup layak.
Ketua Program Studi PG PAUD ini kemudian memberikan penjelasan terkait hak-hak anak yang kerap terlupakan. Munifah menegaskan bahwa mengasuh anak memerlukan ilmu yang mumpuni. Sementara itu di sini belum ada sekolah untuk orang tua yang disebut Munifah sebagai sekolah pra nikah.
Pendidikan pra nikah itu penting karena akan memberikan ilmu pada calon orang tua tentang pola pengasuhan anak yang baik dan benar. Tidak adanya pendidikan pra nikah menjadi salah satu faktor ketidaksiapan orang tua untuk mengurus seorang anak. Akibatnya pelajaran penting tentang hak anak seringkali terlewat. Meskipun secara formal pemerintah Indonesia mendukung pemenuhan hak-hak anak dengan mengakui konvensi hak anak yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar No.4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, akan tetapi pelanggaran terhadap hak anak masih sering terjadi.
Data survei yang dilakukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2022 menunjukkan, dari 25.164 anak di Indonesia beberapa di antaranya masih mengalami kekerasan. Bentuk kekerasan dapat berupa ditampar, dicubit, diinjak, dipukul, dikurung, ditendang, ditarik, dijambak, dan dijewer. Prosentase kekerasan yang dialami anak tertinggi dalam bentuk dicubit yaitu sebanyak 23% dan terendah yaitu diinjak sebanyak 2%.
Selain tidak adanya pendidikan pra nikah, faktor ekonomi yang menghimpit dapat menyebabkan orang tua melampiaskan emosi kepada anak. Tindakan kekerasan akan mempengaruhi psikologis anak. Begitu banyaknya kasus yang terjadi pada anak-anak di Indonesia menandakan bahwa masih banyak orang-orang yang abai terhadap hak-hak anak.
Munifah membeberkan bahwa biasanya pelanggaran terhadap hak anak justru dilakukan oleh orang terdekat anak itu sendiri. Misalnya kekerasan yang dilakukan dalam bentuk verbal. Anak kerap kali mendapat julukan yang tidak pantas. “Anak tidak boleh dilabeli secara fisik. Misalnya dia gemuk terus dipanggil si gendut. Nama adalah bagian dari hak anak, maka berikanlah nama yang tidak asal-asalan. Termasuk ketika anak dapat prestasi, orang tua harus memberikan apresiasi,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Munifah menuturkan ketika memasuki usia pra sekolah, orang tua cenderung terburu-buru untuk mengikuti standar keberhasilan di lingkungan masyarakat. Balita akan dianggap kurang pintar ketika mengalami speech delay. Kemudian anak akan dianggap cerdas ketika dia sudah lancar calistung (baca, tulis, hitung) di level Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) atau Taman Kanak-kanak (TK). Pengasuhan yang baik juga menyangkut sikap orang tua menerima tumbuh kembang anak. Setiap anak memiliki daya tangkap yang berbeda-beda. Orang tua tidak bisa membandingkan proses yang terjadi pada anaknya dengan anak orang lain. Munifah menjelaskan terdapat 4 tahapan sebelum seorang anak lancar membaca.
“Untuk bisa membaca itu anak melalui empat tahap. Menyimak dulu, berbicara, membaca, baru menulis. Nah, misalnya dia tidak pernah menerima ucapan apapun lalu tiba-tiba diminta untuk menghasilkan kemampuan berbicara dan membaca. Ibarat teko tidak diisi, tapi harus dituangkan isinya, bagaimana jadinya?” jelas Munifah diakhiri dengan pertanyaan kritis.
Salah satu contoh yang dijabarkan Munifah untuk melatih tumbuh kembang komunikasi anak yaitu mengajak anak berbicara setiap beraktivitas meskipun anak belum mampu memberikan respons dalam bentuk verbal. “Meskipun tidak bisa merespon, tapi dia akan menyimak dan merekam di dalam otaknya karena masih belum siap keluar dari mulutnya. Nanti saat organnya sudah siap, pasti bisa bicara. Mengajarkan membaca itu tidak lama. Anak -anak tidak membutuhkan waktu lama dalam belajar membaca,” katanya.
Lebih dari membaca, kemampuan menyimak yang bagus dapat membuat anak lebih mudah dalam memahami pelajaran. Biasanya orang menganggap kecerdasan saat di kelas merupakan faktor genetik, padahal tidak. Menyimak dapat dilatih selama distimulus dengan baik, salah satunya dengan buku. Ketika seorang anak sudah dikenalkan buku sejak bayi dan distimulasi dengan baik, maka anak akan terbiasa membaca. Bagi anak, membaca adalah sebuah kebutuhan, tetapi banyak orang tua yang lebih menginginkan anaknya lebih cepat memproses calistung.
Orang tua dapat memanfaatkan masa emas atau yang dikenal dengan istilah golden age yaitu saat usia 0-8 tahun. “Pada masa itu, otak anak sangat brilliant. Apabila anak mendapatkan pengasuhan yang bagus maka hal itu akan permanen dalam ingatannya. Begitu juga apabila menerima perlakuan yang buruk, anak akan sulit melupakannya,” ungkap Munifah.
Itulah alasannya pengasuhan anak dapat berpengaruh pada karakter anak dan berujung pada kualitas generasi dan peradaban. Orang tua wajib memberikan hak anak berupa pengajaran di rumah dan mendukung proses pembelajaran anak agar dapat menghasilkan generasi berkualitas.
“Orang Jepang pernah mengungkapkan bahwa belajar matematika itu membutuhkan waktu sebentar saja. Sedangkan untuk membentuk karakter perlu waktu belasan tahun dan pembiasaan itu harus berulang-ulang,” ujar Munifah.
Baik ibu maupun ayah, keduanya berperan besar dalam memberikan kehidupan yang aman, nyaman, dan layak untuk anak. Komunikasi yang intens antar orang tua dan anak juga menciptakan kepercayaan anak kepada orang tua.
Di akhir keterangannya, Munifah memberikan pernyataan untuk semua ibu di dunia, terkhusus di Indonesia.
“Berbahagialah menjadi seorang ibu, tapi harus terus belajar untuk bisa menghasilkan generasi berkualitas. Ibu memiliki tugas untuk meniapkan anak berkualitas. Tentu bekerja sama dengan instansi pendidikan. Agar bisa tercipta Indonesia generasi emas 2045.”
Editor : Tria Patrianti