Indonesia Butuh Al-Siyasah Al-Wasathiyah

© Mostafameraji (ilustrasi)

Sabtu, 29 Januari 2022, saya menghadiri Pidato Kebudayaan Zulkifli Hasan di Perpustakaan Nasional. Pidato Kebudayaan ini berjudul: Indonesia Butuh Islam Tengah. Saya betul-betul menikmati dan mencerna dengan baik pidato yang disampaikan oleh Zulhas, panggilan akrabnya. Pidato Kebudayaan yang bernas dan impresif.

Mengawali pidatonya, Zulhas menyebut tentang perlunya menggunakan akal pikiran bagi terwujudnya kemaslahatan hidup antarsesama, termasuk kemaslahatan hidup berbangsa dan bernegara. Zulhas menyebut bahwa akal pikiran itu yang melahirkan akal budi, dan akal budi itu menghasilkan budi pekerti (akhlak), yang membedakan harkat dan martabat seorang individu dengan individu lainnya. Perbedaan pengetahuan, pemahaman, dan pengalaman terhadap berbagai ajaran dan nilai luhur yang kita miliki atau anut, membuat ekspresi pakaian akhlak itu berbeda-beda. Tetapi, di tengah segala perbedaan itu, kita mengerti apa yang baik, apa yang luhur, dan apa yang agung. Begitu pusebaliknya. 

Zulhas menambahkan bahwa pengertian dan pemahaman itu yang membuat kita bisa mencari titik tengah, titik kesepakatan, titik temu, relevansi antara apa yang kita mengerti dan pahami dengan apa yang bisa kita terima dalam menjalani kehidupan kita sehari-hari, yakni kehidupan yang membawa manfaat dan maslahat.

Zulhas mengartikan Islam Tengah sebagai perwujudan Islam yang moderat, dari kata wasath atau wasathiyah, yang memiliki padanan makna dengan kata tawassuth (tengah-tengah), i’tidal (adil), dan tawazun (berimbang). Kata wasathiyah diartikan sebagai ‘pilihan terbaik’, sikap unggul yang mengerti batas-batas toleransi dan sanggup mengayomi semua golongan. Moderat bukanlah sikap yang lemah, abu-abu, tidak jelas, atau mencari aman. Sikap moderat mencoba mencari titik temu dan juru damai yang menghindari titik tengkar. Inilah Islam yang mengedepankan prinsip rahmatan lil ‘alamin, menjadi berkah bagi sekalian alam. 

Sebagai ketua umum partai berbasis massa Islam, keseluruhan isi dari Pidato Kebudayaan Zulhas menggambarkan adanya keresahannya dalam melihat Indonesia. Satu sisi tersirat ada nada optimisme ketika melihat komitmen ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah, NU, Persis, dan Al-Washliyah dalam menghadirkan wajah Islam Tengah, sehingga NKRI yang sudah berusia lebih dari 76 tahun masih terjaga dengan baik. Bandingkan dengan Uni Sovyet yang hanya mampu bertahan 74 tahun, pada 1991 terpecah menjadi 15 negara. Yugoslavia pun hanya bertahan 49 tahun sebelum akhirnya pecah menjadi 6 negara.

Namun di sisi lain tampak ada kekhawatiran atas apa yang terjadi di beberapa negara Arab dan Islam akan terjadi juga di Indonesia, di mana konflik politik berbalut agama terjadi berkepanjangan. Bukan hanya itu, sebagian masyarakat kita juga menjadi mudah tersinggung, gampang marah, emosi, dan terprovokasi serta kehilangan selera humor.

Belajar dari Uni Sovyet dan Yugoslavia, serta konflik yang menerpa beberapa negara di dunia Arab dan Islam, maka Pidato Kebudayaan Zulhas menjadi sangat penting. Zulhas mencoba mengingatkan tentang pentingnya menghadirkan wajah Islam Tengah dalam konteks keberagamaan di Indonesia. Wajah Islam Tengah harus menjadi sikap mental seluruh bangsa Indonesia, tanpa terkecuali.

Bicara soal Islam Tengah tentu bukan hanya monopoli ormas-ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU. Partai-partai berbasis massa Islam seperti PAN juga harus ikut berbicara dan mengkampanyekan Islam Tengah. Begitu pun partai-partai lainnya. Apalagi secara faktual, gesekan dan polarisasi politik yang ekstrem yang terjadi di masyarakat sejatinya lebih banyak dipicu oleh persoalan politik, bukan determinan karena faktor pemahaman keagamaan. Agama hanya sebatas menjadi “bumbu penyedap” atas konflik dan polarisasi politik tersebut.

Al-Siyasah Al-Wasathiyah

Sikap tengah (wasathiyah) semestinya bukan hanya dan selalu berkutat pada hal yang berkenaan dengan masalah keagamaan. Saatnya, Islam Tengah juga dibawa masuk ke ranah politik, yang dalam tulisan ini saya menyebutnya sebagai “al-siyasah al-wasathiyah”, yang diartikan sebagai “politik tengahan”, yaitu politik yang menjunjung tinggi prinsip-prisip keadilan (al-‘adalah), keseimbangan (tawazun), politik yang tidak mudah terjebak pada ekstremitas (tatharruf), politik yang memihak pada kebenaran, politik yang menebar nilai-nilai profetik dan bertujuan untuk mewujudkan kebaikan bersama (maslahatil ammah).

Al-siyasah al-wasathiyah bukanlah politik yang selalu dimaknai sebagai serba abu-abu, pragmatis, dan cenderung oportunis, politik tanpa keberpihakan yang jelas dan tegas terhadap kebenaran, abai atas prinsip-prinsip keadilan (al-‘adalah) yang seharusnya diterapkan dalam politik, dan bukan politik yang an sich dimaknai dan dikaitkan dengan perebutan kekuasaan.

Untuk menghadirkan wajah al-siyasah al-wasathiyah, selain mempunyai modal berupa prinsip-prinsip Islam Tengah, kita juga mempunyai falsafah negara bernama Pancasila. Saya tidak ragu sedikit pun untuk menyebut bahwa Pancasila adalah perwujudan nyata dari tafsir atas Islam Tengah. Sila-sila Pancasila: ketuhanan (tauhid), kemanusiaan (al-insaniyah), persatuan (al-wahdah), permusyawarah (al-syura), dan keadilan sosial (al-‘adalah al-ijtima’iyah) mengandung prinsip-prinsip fundamental yang bisa dijadikan sebagai pijakan untuk mewujudkan al-siyasah al-wasathiyah.

Problemnya adalah pada political will dan political act. Mau atau tidak para elit politik negeri ini menghadirkan secara praksis prinsip-prinsip fundamental dari Pancasila dalam pembuatan kebijakan politik apapun? Pertanyaan ini pantas diajukan. Sebab kalau menilik banyak kebijakan, baik dalam konteks politik, ekonomi, hukum, kebudayaan, dan yang lainnya, kurang, bahkan tak tampak bahwa prinsip-prinsip fundamental dari Pancasila itu hadir dan mewarnai atas lahirnya kebijakan-kebijakan politik yang dibuat elit politik negeri ini.

Justru yang tampak adalah wajah politik yang serba ekstrem (tatharruf), bukan wajah al-siyasah al-wasathiyah. Praktik politik dan ekonomi kita hari ini sangat liberal. Dan liberal itu bukan sikap tengahan, bukan al-siyasah al-wasathiyah, tapi wajah ekstrem (tatharruf), sesuatu yang sejatinya bertentangan dengan Pancasila.

Kalau Islam Tengah dalam konteks keberagamaan sudah nyaring dikampanyekan, maka saatnya al-siyasah al-wasathiyahjuga dikampanyekan secara masif agar kebijakan-kebijakan politik negara kita mampu menampakkan wajah tengahannya. Partai-partai politik, terutama yang berbasis massa Islam, seperti PAN, PKS, PKB, dan PPP mempunyai tugas untuk membawa prinsip-prinsip al-siyasah al-wasathiyah ke ranah politik. Saatnya politik kita dibangun dengan mengedepankan prinsip-prinsip al-siyasah al-wasathiyah. Dan untuk menghadirkannya tentu tidak mudah. Dibutuhkan ikhtiar-ikhtiar politik yang serius dari partai-partai politik. Tanpa itu, maka jangan berharap akan hadirnya al-siyasah al-wasathiyah di ranah politik.

Pidato Kebudayaan Zulhas harus menjadi pijakan politik bagi kader-kader PAN dalam ikhtiar menghadirkan wajah al-siyasah al-wasathiyah. Dalam kurun waktu dua tahun menjelang Pemilu 2024, PAN harus mulai secara serius menampilkan jatidiri politiknya yang senafas dengan al-siyasah al-wasathiyah. Sebaliknya, langgam politik yang cenderung ekstrem (tatharruf), yang serba abu-abu yang sering ditampilkan PAN harus segera diakhiri.

(Opini ini pernah dimuat pada laman https://retizen.republika.co.id/)

https://simlppm.untan.ac.id/vendor/terbaik-2024/https://lentera.uin-alauddin.ac.id/question/gratis-terlengkap/https://old-elearning.uad.ac.id/gampang-menang/https://fk.ilearn.unand.ac.id/demo/http://ti.lab.gunadarma.ac.id/jobe/system/https://elearning.uika-bogor.ac.id/tanpa-potongan/https://mti.unpam.ac.id/assets/images//https://besadu.belitung.go.id/css/https://uptdlkk.kaltimprov.go.id/img/product/https://jdih-dprd.sumedangkab.go.id/system/https://siswa.dpuair.jatimprov.go.id/tests/demo/https://simmas.jombangkab.go.id/vendor/https://siapmang.kotabogor.go.id/storage/https://e-learning.iainponorogo.ac.id/thai/https://alumni.fhukum.unpatti.ac.id/app/