KASUS SAMBO MOMENTUM POLRI BERSIH-BERSIH

Porli
Image by Freepik

Sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) yang dipimpin Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Polri Komjen Agung Budi Maryoto telah memutuskan memecat secara resmi mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri Irjen Ferdy Sambo terkait tewasnya Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J). Sidang KKEP memutuskan menolak permohonan banding Sambo terkait pemecatannya sebagai anggota Polri. Dengan putusan banding ini, Sambo resmi dipecat dari institusi Polri.

Putusan sidang KKEP ini menguatkan putusan sidang komisi etik Polri tanggal 26 Agustus 2022, yang memutuskan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) atau memecat Sambo. Putusan sidang ini bersifat final dan mengikat. Sambo tidak bisa lagi melakukan upaya hukum lain atas hasil keputusan KKEP PK ini. Tidak ada Kasasi dan Peninjauan Kembali.

 

Awalnya Ragu

Ketika mencuat kasus pembunuhan Brigade J yang melibatkan Sambo, publik mulanya ragu bahwa Polri akan menuntaskan kasus hukum ini secara berkeadilan. Keraguan publik bisa dimaklumi bila merujuk pada pernyataan-pernyataan awal para petinggi Polri, yang cenderung tidak konsisten atau berubah-ubah. Belum lagi perlakuan istimewa terhadap istri Sambo Putri Candrawathi yang tidak langsung ditahan setelah ditetapkan sebagai tersangka, dengan alasan mempunyai anak kecil. Bandingkan perlakuan Polri terhadap banyak tersangka perempuan lainnya yang mempunyai anak kecil. Kebanyakan dari mereka tetap ditahan setelah dinyatakan sebagai tersangka. Begitu juga Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Pada mulanya juga tampak ada keraguan untuk mengungkap lebih jauh kasus Sambo, yang tergambar dari pernyataan-pernyataannya pada saat awal mencuatnya kasus ini. Ada kesan yang sangat kuat bahwa berubah-ubahnya pernyataan dan keterangan para petinggi Polri tersebut karena mereka ingin “menyelamatkan” Sambo.

Keraguan publik ini wajar, karena kasus ini melibatkan jenderal bintang dua dengan jabatan yang bergengsi sebagai Kadiv Propam Polri Sambo dan sederet nama para petinggi di Divisi Propam Polri lainnya. Belum lagi di kalangan terbatas, Sambo beserta gangnya selama ini juga dinilai sebagai sosok dan “gang polisi” yang sangat kuat. Dengan posisinya yang demikian, wajar kalau publik ragu dan bahkan pesimis kasus kematian Brigadir J akan terungkap dengan tuntas.

Namun berkat dorongan dan dukungan penuh publik, dan tentu saja dukungan Presiden Joko Widodo, yang mendesak agar Polri menyelesaikan secara tuntas kasus kematian Brigadir J, mulai ada perubahan sikap di tubuh Polri. Tampak mulai ada “keberanian” untuk mengungkap kasus kematian Brigadir J.

Kedua, tentu saja pertaruhan jabatan Kapolri Jenderal Listyo, yang selama ini dikenal sebagai jenderal berintegritas, serta dinilai serius ingin melakukan perbaikan di tubuh Polri. Perubahan slogan Polri di era Listyo dari slogan Promoter (profesional, modern dan terpercaya) –yang digunakan sejak era Kapolri Tito Karnavian hingga Idham Aziz– menjadi Presisi (prediktif, responsibilitas, dan transparansi berkeadilan, setidaknya menggambarkan keseriusan tersebut.

Melalui perubahan slogan, tentu saja konsep Presisi Polri diharapkan tidak sekadar menjadi jargon, namun Polri harus benar-benar berkomitmen untuk menjalankannya dengan baik, termasuk dalam penanganan kasus kematian Brigadir J, yang melibatkan banyak petinggi Polri. Kapolri Jenderal Listyo tentu tidak ingin dituduh tidak responsif, tidak transparan, dan tidak berkeadilan dalam menangani kasus Sambo, dkk. Maka tak ada pilihan kecuali harus menuntaskan kasus Sambo secara seadil-adilnya. Kasus Sambo telah benar-benar menjadi ujian serius bagi Kapolri dalam menjalankan Presisi Polri.

Ketiga, kesadaran para petinggi Polri yang masih mempunyai integritas. Saya yakin, jumlah polisi yang beintegritas masih jauh lebih banyak daripada polisi yang nir-integritas, termasuk di lingkup perwira tinggi Polri. Diberhentikannya Sambo dan beberapa petinggi Polri lainnya secara tidak hormat, menjadi bukti bahwa polisi yang berintegritas masih cukup banyak dan telah berhasil memenangkan “rivalitas kuasa” di tingkat internal Polri, antara “kubu integritas” versus “kubu nir-integritas”. Juga menjadi secercah harapan publik bahwa Polri dengan Presisinya masih mau berubah ke arah yang lebih baik.

Baca Juga : Pesan Politik dari Samarinda

 

Momentum Berubah

Pemberhentian Sambo dan petinggi Polri lainnya secara tidak hormat, harus menjadi momentum Polri untuk berubah, yaitu dengan melakukan bersih-bersih secara menyeluruh. Untuk melakukan perubahan menyeluruh ini, maka Polri perlu melakukan langkah-langkah berikut secara serius. Pertama, jadikan momentum kasus Sambo untuk melakukan bersih-bersih. Bersihkan Polri dari anggota atau petinggi Polri yang kerap melakukan tindakan kejahatan yang merugikan dan memperburuk citra Polri. Polri harus mampu menjawab cibiran publik terkait rumor atas tindakan oknum Polri (meski tidak tepat menyebut oknum kalau pelakunya sudah berpangkat serendah-rendahnya Mayor Polisi) yang berprofesi sampingan dari mulai menjadi beking perjudian, beking bandar narkoba, beking mafia tanah atau mafia kasus hingga kerap melakukan pembunuhan tanpa melalui proses hukum.

Kedua, perlu ada keseriusan untuk memperbaiki dan memperketat pola rekrutmen dan promosi jabatan di lingkungan Polri. Pola rekrutmen dan promosi jabatan harus benar-benar mengedepankan prinsip meritokrasi. Rumor tak sedap terkait nepotisme, diskriminasi, termasuk “setoran” dalam jumlah yang fantastis dalam proses rekrutmen, baik melalui jalur Akademi Kepolisian (Akpol), Sekolah Inspektur Polisi Sumber Sarjana (SIPSS), Tamtama atau jalur lainnya dan promosi jabatan di tubuh Polri, harus ditekan sedemikian rupa hingga ke titik terendah. Juga jangan sampai ada pembiaran atas “tekanan” atau “pesanan” dari pihak manapun dalam melakukan promosi jabatan. Promosi jabatan harus dipastikan mengedepankan prinsip-prinsip meritokrasi.

Ketiga, tak kalah pentingnya, “fasilitasi” dan “pelihara” dengan baik para lulusan pendidikan kepolisian, terutama lulusan terbaik dari jalur Akpol. Jangan sampai mereka “difasilitasi” atau “dipelihara” oleh pihak lain yang cenderung tidak bertanggung jawab, yang bukan saja secara personal akan merusak mentalitas dan integritas mereka, namun pada gilirannya juga dipastikan akan merusak citra institusi kepolisian. Dalam banyak hal, aroma poin kedua ini sangat terasa sekali dan impact-nya cukup serius dalam merusak citra Polri.

Kalau Polri, dalam hal ini Kapolri Jenderal Listyo, tentu ditopang oleh para perwira tinggi lainnya yang berintegritas, serius mempunyai komitmen untuk melakukan bersih-bersih, maka tiga hal di atas penting dipertimbangkan secara serius untuk dijalankan. Percayalah, bila tiga hal tersebut dijalankan, maka sorotan publik yang sangat buruk terhadap kepolisian dalam beberapa waktu belakangan ini pun akan berubah menjadi lebih baik, dan dengan sendirinya citra Polri pun akan membaik pula.

https://simlppm.untan.ac.id/vendor/terbaik-2024/https://lentera.uin-alauddin.ac.id/question/gratis-terlengkap/https://old-elearning.uad.ac.id/gampang-menang/https://fk.ilearn.unand.ac.id/demo/http://ti.lab.gunadarma.ac.id/jobe/system/https://elearning.uika-bogor.ac.id/tanpa-potongan/https://mti.unpam.ac.id/assets/images//https://besadu.belitung.go.id/css/https://uptdlkk.kaltimprov.go.id/img/product/https://jdih-dprd.sumedangkab.go.id/system/https://siswa.dpuair.jatimprov.go.id/tests/demo/https://simmas.jombangkab.go.id/vendor/https://siapmang.kotabogor.go.id/storage/https://e-learning.iainponorogo.ac.id/thai/https://alumni.fhukum.unpatti.ac.id/app/