Oligarki Hukumnya Makruh

opini oligarki sri yunanto

Oligarki berasal dari bahasa Yunani, “oligarkhes”, yang berarti sedikit yang memerintah, atau pemerintahan yang  dijalankan oleh beberapa orang  yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu. Banyak orang berpendapat bahwa demokrasi di Indonesia saat ini diwarnai oleh Oligarki Politik.

Orang menujuk kenyataan bahwa partai politik di Indonesia dikuasai oleh kelompok tertentu yang merupakan keturunan, keluarga, klik, yang membentuk elit yang menguasai Parpol. Fenomena Oligarki sebenarnya buka monopoli Indonesia.

Negara-negara di sekitar Asia Tenggara juga mempunyai sistem politik oligarkis yang  berkelit kelindan dengan elit bisnis, elit tuan tanah atau elit militer.  Presiden  Filipina sekarang  Marcos Jr – yang berjuluk Bong Bong  Marcos, putera Presiden Verdinand Marcos kembali ke tahta kepresidenan dengan membentuk oligarki Dinasti Marcos yang bekerjasama dengan Dinasti Duterte, presiden yang digantikan.

Sebelumnya Benigno Simeon “Noynoy” Cojuangco Aquino III anak tokoh oposisi Benigno Aquino dan presiden Filipina Corazon Aquino juga terpilih menjadi presiden Filipina pada tahun 2010. Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong adalah anak dari PM Menteri Singapuran Lee Kwan Yew.

Di Thailand, Takhsin Sinawatra juga mengembangkan oligarki bisnis yang berkelindan dengan oligarki politik.  Sebagai   sebuah kesultanan, Brunei juga sudah pasti dikuasai oleh oligarki, yaitu elit-elit di seputar keluarga dari Sultan Brunei . Praktek Oligarki juga terjadi di beberapa negara seperti China, Rusia, Turki, Arab Saudi, Iran, Afrika Selatan, Korea Utara, Venezuela, Ukraina, Zimbabwe, dan Amerika Serikat ( Oligarchy Countries 2021).

Kritik terhadap Oligarki

Diakui oleh banyak ahli bahwa oligarki bukanlah sistem yang ideal dalam suatu negara.  Sejak dulu sistem ini memang telah mendapatkan kritikan. Plato mengkritik oligarki sebagai bentuk pemerosotan dari pemerintahan aristokrasi, yaitu  pemerintahan yang dipimpin cerdik pandai, menjadi dipimpin segolongan kecil yang memerintah demi kepentingan golongan itu sendiri. 

Robert Mitchel mengkritik oligarki  sebagai hukum besi yang tidak terelakkan dalam negara demokrasi. Kekuatan Oligarki ini nantinya akan menguasai demokrasi.  Di Indonesia fenomena Oligarki politik dan ekonomi juga mendapatkan sorotan dan kritikan.

Jeffrey A Winters yang mengkaji  munculnya oligarki Indonesia ini sejak masa Presiden Soeharto yang ia sebut sebagai oligarki sultanistik. Oligarki ini melakukan  monopoli sarana pemaksaan di tangan satu oligarki, bukan di tangan negara yang terlembaga dan dibatasi hukum. 

Titi Anggraini, pengamat pemilu,  menilai, oligarki tumbuh subur di Indonesia dalam sistem demokrasi Tanah Air, khususnya dalam gelaran Pemilu dan Pilkada. Hal ini disebabkan oleh tata kelola partai politik yang belum demokratis, regulasi, penegakan hukum lemah, hingga kesadaran masyarakat yang rendah.

Titi Anggraeni menilai bahwa pengambilan keputusan di parpol ditentukan oleh segelintir orang yang juga menentukan rekrutmen politisi. Sedangkan pengurus tidak mempunyai akses dalam pengambilan keputusan partai.

Oligarki  hukumnya Makruh Dalam Demokrasi

Makruh merupakan salah satu status dalam hukum Islam. Makna intinya adalah Kalau bisa ditinggalkan lebih baik, tetapi kalaupun terjadi tidak apa-apa. Ada orang yang menganggap bahwa merokok hukumnya makruh. Artinya sebaiknya memang tidak merokok, tetapi kalo harus merokok tidak berdosa juga.

Begitu juga idealnya demokrasi di Indonesia tidak dikuasai oleh segelintir orang dari ayah, ibu, anak, cucu suadara kawan dan kerabat. Idealnya Indonesia yang mengadopsi sistem demokrasi ini tidak melahirkan elit-elit oligarkis yang mendominasi pengambilan keputusuan di Parpol, Parlemen dan birokrasi. Namun juga harus dicatat bahwa banyak tokoh-tokoh nasional yang “moncer” bukan lahir dari lingkungan oligarkis.

Saya mencatat beberapa poin  terkait dengan fenomena Oligarki di Indonesia. Pertama, reformasi politik yang terjadi pada tahun 1998 tidak sepenuhnya bisa meninggalkan struktur dan kultur lama dari negara Indonesia yang memang mempunyai struktur kerajaan, dimana pengambilan keputusan  dilakukan oleh sekolompok elit  kerajaan.  

Setelah itu , sebagaimana dicatat oleh Winter, Indonesia memasuki kepada sistem yang otoriter pada masa akhir Order lama dan sepanjang Orde Baru dimana sistem ini ditompang oleh lingkungan oligarkis . Kultur oligarkis ini berlanjut kepada masa reformasi dimana rakyat masih mengandalkan tokoh-tokoh lama yang telah lama menikmati lingkungan oligarkis.

Namun demikian, reformasi politik juga membuka ruang munculnya tokoh-tokoh baru yang bebas dari lingkungan oligarkis, tokoh-tokoh itu memimpin partai politik, menjadi pimpinan birokrasi atau bahkan presiden. Contoh terdekat yang kongkrit adalah Presiden Jokowi sebagai mantan pengusaha mebel yang menapaki karir politik dari bawah dari Walikota-Gubernur hingga presiden. Sufmi Dasco Ahmad,  tokoh Partai Gerindra mengklaim bahwa Partai  besutan Prabowo Subijanto ini bebas dari Oligarki.

Petinggi partai ini  mengklaim, partainya tidak mengenal oligarki. Partai berlambang kepala garuda itu saat ini tengah menyiapkan regenerasi internal. Bahkan terhadap anak pendiri Gerindra pun itu tidak ada keistimewaan.

Kedua, tidak ada aturan yang spesifik yang melarang munculnya sistem yang oligarkis. Artinya praktek oligargis,  bukanlah sebuah kejahatan atau kriminal. Selain itu bahwa dalam sistem ini juga terbuka lebar peluang-peluang meritokrasi, dimana kader-yang punya prestasi juga bisa mengambil peluang pada kontestasi politik, maupun ekonomi.

De jure Indonesia menganut sistem demokrasi dan menjunjung tinggi Hak Azasi Manusia. Kedua sistem ini memberikan tempat kepada kekuasaan rakyat  secara egaliter untuk dipilih atau memilih ( elect or be elected), termasuk dalam konteks ini adalah kesamaan kepada elemen oligarki dan elemen meritokrasi.

Jadi elemen oligarkipun boleh tumbuh, walaupun bukan ideal (Makruh) tidak ada larangan yang spesifik terhadap tumbuhnya sistem oligarki. Dengan kata lain oligarki bukanlah barang haram.  Realitasnya, de jure  Partai –partai yang selama ini ditunjuk sebagai partai yang mempunyai sistem oligarki, juga memberikan ruang kepada kader-kader berprestasi.

Contoh konkrit Ganjar Pranowo, setelah melalui sebuah proses yang panjang akhirnya resmi dicalonkan sebagai  Capres oleh PDIP, bukan Puan Maharani atau Prananda Prabowo, keduanya putra/puteri Megawati. Salah satu alasannya adalah karena Ganjar Pranowo, mempunyai- prestasi politik yang pantas untuk didorong sebagai Capres.

Sistem ini tentu berbeda dengan sistem kerajaan. Dimana pengganti pemimpin sudah pasti anak nya, terlepas dari prestasinya. Jadi yang penting sekarang adalah focus kepada kinerja dari kepemimpinan yang de jure dan de facto terjadi. Silahkan pemimpin yang lahir dari lingkungan oligarki dan dan yang lahir dari proses meritokrasi berkompetisi. Asalkan bisa membawa rakyat kedalam kehidupan yang  sejahtera” gemah ripah loh jinawi, ayem tentrem karto raharjo”.  

(Tulisan ini dimuat juga pada laman Jitunews.Com)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

https://simlppm.untan.ac.id/vendor/terbaik-2024/https://lentera.uin-alauddin.ac.id/question/gratis-terlengkap/https://old-elearning.uad.ac.id/gampang-menang/https://fk.ilearn.unand.ac.id/demo/http://ti.lab.gunadarma.ac.id/jobe/system/https://elearning.uika-bogor.ac.id/tanpa-potongan/https://mti.unpam.ac.id/assets/images//https://besadu.belitung.go.id/css/https://uptdlkk.kaltimprov.go.id/img/product/https://jdih-dprd.sumedangkab.go.id/system/https://siswa.dpuair.jatimprov.go.id/tests/demo/https://simmas.jombangkab.go.id/vendor/https://siapmang.kotabogor.go.id/storage/https://e-learning.iainponorogo.ac.id/thai/https://alumni.fhukum.unpatti.ac.id/app/