Rancangan Undang-Undang (RUU) Ibu kota Negara (IKN) akhirnya disahkan menjadi UU IKN. Semua fraksi di DPR mendukung UU IKN, kecuali Fraksi PKS. Sebagai UU yang mendapat perhatian luas publik dan mengundang polemik, pembahasan UU IKN termasuk sangat singkat, yaitu hanya dibahas dalam waktu 42 hari.
Pemerintah sebagaimana pernah dinyatakan oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, menyebut bahwa pemindahan ibu kota negara diperlukan dengan enam alasan, di antaranya: Mengurangi beban Jakarta dan Bodetabek (Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi); Mendorong pemerataan pembangunan ke wilayah Indonesia bagian timur; Mengubah mindset pembangunan dari Jawa Centris menjadi Indonesia Centris; Memiliki ibu kota negara yang merepresentasikan identitas bangsa, kebinekaan dan penghayatan terhadap Pancasila (30/4/2019).
Disahkannya UU IKN, saya kira perlu mendapat beberapa catatan. Pertama, terkait alasan pemindahan ibu kota negara pada poin pertama sampai tiga, saya kira ada benarnya. Faktual, sesuai yang terjadi dan dirasakan selama ini dan juga berdasarkan pada data-data yang ada, terjadi pemusatan “kue pembangunan” di Jakarta dan wilayah Jawa lainnya. Sementara sedikit sekali kue pembangunan” yang tersebar di luar Jawa.
Kalau masalahnya adalah ketakmerataan dan dominasi pembangunan di Jawa, jawabannya tentu bukan dengan memindahkan ibu kota negara. Sebaliknya, justru semestinya dijawab dengan memangkas ketimpangan pembangunan antara Jawa dengan luar Jawa, melakukan pemerataan pembangunan di wilayah-wilayah luar Jawa. Sebagian ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan daerah luar Jawa lainnya.
Kedua, kalau alasan pindah ibu kota negara karena ingin memiliki ibu kota negara yang merepresentasikan identitas bangsa, kebinekaan, dan penghayatan terhadap Pancasila, ini juga alasan yang terkesan asal-asalan. Apakah selama ini Jakarta dinilai tidak atau kurang mencirikan identitas bangsa, kebinekaan, dan penghayatan terhadap Pancasila? Kalau tidak, indikator apa yang digunakan untuk menilai Jakarta sebagai tidak atau kurang mencirikan ketiga hal tersebut? Apakah misalnya karena alasan “Pilkada 2017” dijadikan sebagai indikator untuk mengukur Jakarta sebagai tidak merepresentasikan identitas bangsa, anti kebinekaan, dan rendah penghayatannya terhadap Pancasila? Tentu alasan ini terlalu naif dan absurd.
Ketiga, memberatkan anggaran. Pemindahan ibu kota negara memakan anggaran Rp. 501 triliun, nominal uang yang tidak sedikit. Mengutip informasi terbaru dari laman resmi IKN, ikn.go.id, skema pembiayaan pembangunan ibu kota hingga 2024 akan lebih banyak dibebankan pada APBN, yaitu 53,3 persen. Sisanya, didapat dari Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), swasta, dan BUMN sebesar 46,7 persen. Kemudian, pada 2024 dan seterusnya, pembiayaan IKN akan ditingkatkan melalui investasi KPBU dan swasta.
Porsi pembiayaan IKN yang lebih banyak menggunakan APBN ini tentu tak sejalan dengan janji yang pernah disampaikan oleh Presiden Jokowi pada Mei 2019, saat awal mengumumkan proyek pemindahan ibu kota, yang menyebut bahwa pembangunan ibu kota negara tidak akan membebani APBN. Modus “tak membebani APBN” ini serupa dengan proyek kereta cepat Jakarta – Bandung yang pada awalnya Pemerintah juga menyatakan tidak akan membebani APBN, tapi faktanya membebani juga APBN sebesar Rp. 4,3 triliun. Padahal sebelumnya, pembiayaan kereta cepat ini pun sudah mengalami pembengkakan biaya dari sebelumnya sekitar Rp. 86,67 triliun menjadi Rp. 114, 24 triliun.
Saya membayangkan andai saja anggaran sebesar 501 triliun yang digunakan untuk pemindahan ibu kota negara digunakan untuk melakukan pemerataan pembangunan di beberapa wilayah di luar Jawa, maka hasilnya tentu akan banyak mengubah atau mengakhiri status banyak wilayah di luar Jawa yang masuk kategori wilayah Tiga T: Terdepan, Terpencil, dan Tertinggal.
Selagi tidak ada political will dan political act untuk mengubah kebijakan pembangunan dari yang bermodel Jawa centris, kota centris, percayalah, tak mungkin akan terjadi pemerataan. “Kue pembangunan” tetap hanya akan berputar di sekitar Jawa dan wilayah kota-kota besar. Dan saya tidak melihat sedikit pun bahwa pemindahan ibu kota negara sebagai jawaban atas ketakmerataan dan ketimpangan pembangunan yang terjadi di Indonesia.
Alasan-alasan yang tidak berdasar terkait kebijakan pemindahan ibu kota negara, tak mengherankan kalau menimbulkan polemik dan penolakan secara meluas. Berbagai kalangan menyatakan penolakan atas pemindahan ibu kota negara. Bahkan sehari selepas disahkannya UU IKN, beberapa tokoh masyarakat, seperti Din Syamsuddin, Faisal Basri, dan Rizal Ramli langsung menyatakan secara tegas akan melakukan judicial review (peninjauan kembali) ke Mahkamah Konstitusi atas disahkannya UU IKN tersebut.
Keempat, disahkannya UU IKN mempertegas kecenderungan yang sama selama ini bahwa dalam proses pembuatan beberapa UU yang berkenaan dengan kepentingan kaum oligarki, seperti UU Minerba dan UU Cipta Kerja selalu saja pengesahannya hampir mempunyai kemiripan: penuh kontroversi, mengabaikan masukan dari banyak pihak, pembahasannya sangat cepat, dan disahkan menjelang atau tengah malam.
UU IKN mengundang banyak kontroversi. Publik menyoroti super kilatnya pembahasan UU IKN yang hanya memakan waktu 42 hari, waktu yang tentu sangat singkat untuk pembahasan UU yang sangat penting dan strategis. Naskah akademik UU juga menuai banyak sorotan. Banyak pihak mengkritik substansi naskah tersebut, terutama terkait dengan landasan sosiologis, diksi atau pemilihan kata hingga jumlah referensi penulisan naskah. Untuk diketahui, naskah akademik terkait UU IKN, jumlah referensinya termasuk sedikit. Dan dari jumlah referensi yang sedikit tersebut, tak satu pun yang bersumber dari akademisi Indonesia.
Sebagian publik bahkan ada yang menilai bahwa RUU Cipta Kerja yang buruk tersebut pun membahasanya masih jauh lebih baik dari RUU IKN. Saat pembahasan RUU Cipta Kerja masih menyisakan perdebatan di ruang publik. Aksi-aksi demonstrasi juga marak dan terjadi di banyak daerah. Sementara pembahasan RUU IKN tak memberikan perdebatan yang serius di ranah publik. Andai saja dilakukan referendum untuk menentukan pindah atau tidaknya ibu kota negara, saya meyakini, yang menolak pindah ibu kota akan jauh lebih banyak dibanding dengan yang mendukung.
Pertanyaan besarnya, dengan proses pembahasan UU IKN yang sedemikian buruk, sejatinya kepentingan siapa yang mendominasi dan bermain di balik kebijakan pindah ibu kota negara? Menilik argumentasi pemerintah, singkatnya waktu pembahasan, dan tingginya tingkat penolakan, sulit untuk tidak menyebut bahwa ada kepentingan yang bermain sangat rapih dan sistematis atas kebijakan pindah ibu kota negara. Dan kepentingan dominan tersebut tentu tak jauh dari kepentingan kaum oligark, yang sejak Indonesia memasuki era politik liberal, tahun 2004 seiring dimulainya pemilihan presiden secara langsung, sangat mendominasi dalam setiap pengambilan kebijakan politik di Indonesia.