Wayang, Keislaman, dan Keindonesiaan

Wayang kulit merupakan salah satu warisan budaya asli Indonesia yang telah terdaftar di UNESCO pada 7 Desember 2003 serta mendapat julukan sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity atau karya kebudayaan yang mengagumkan di bidang cerita narasi dan warisan budaya yang indah dan berharga.

Sejak dulu, wayang kulit berpentas sebagai penggambaran sifat dan watak manusia yang dipertunjukkan di dalam masyarakat Jawa khususnya. Aktor-aktor dalam pewayangan mungkin sangat terkenal, seperti Yudhistira yang digambarkan sebagai orang yang suci, sabar, dan selalu menegakkan yang benar. Bima atau Wekudara sebagai sosok ksatria yang hebat. Arjuna, sebagai seorang lelaki yang tampan dan memiliki ajian naracabala, dan lainnya. Selain digunakan sebagai penggambaran watak dan pertunjukkan wayang ini juga dimanfaatkan oleh salah seorang walisongo yaitu Sunan Kalijaga dalam mendakwahkan ajaran agama Islam dan dalam menyebarkan ajaran agama di bumi Nusantara Indonesia ini.

Pementasan wayang dinilai memikat orang datang dan menyaksikannya, karena dibuat cerita secara apik dan mudah dimengerti banyak orang, lelucon-lelucon yang ditampilkan juga membuat suasana tidak kaku tapi tersirat makna yang dalam. Pada hakikatnya, pementasan wayang jika dianalogikan dengan pementasan budaya yang lain tidak jauh berbeda esensinya, seperti pementasan ketoprak, ludruk, teater, bahkan sinetron di berbagai stasiun televisi saat ini.

Dulu, ada pementasan yang terkenal misalnya yang dipentaskan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yaitu “Matine Gusti Allah” atau Matinya Tuhan, yang menimbulkan kontroversi antara kelompok PKI dan Islam. Pada saat itu seluruh umat Islam memprotes termasuk Persyarikatan Muhammadiyah di bawah kepemimpinan KH. A.R Fakhrudin sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia dalam menanggapi fenomena saat itu, beliaupun dengan teduh membuat pagelaran seni yang sama dengan judul “Matine Iblis” atau matinya iblis.

Berbicara tentang wayang dalam konteks keagamaan dinilai sebagai seni atau perantara dalam berdakwah. Rasulullah, Nabi Muhammad SAW diterima sebagai utusan Allah SWT ditengah kota Makkah salah satunya dengan keindahan sastra yang terdapat dalam bait-bait Al-Qur’an, Walisongo menyebarkan dakwah di Pulau Jawa dengan syair-syair serta pementasan wayang, KH. Ahmad Dahlan menyampaikan Islam di tengah kejumudan TBC (Tahayul, Bid’ah, dan Khurafat) kepada murid muridnya dengan bermain alat musik seperti biola, sutradara film hari inipun membuat suatu pertunjukkan yang dikemas secara menarik dan mengandung nilai-nilai keislaman di dalamnya, dan masih banyak lagi metode dalam berdakwah menggunakan keindahan kesenian yang yang dapat dilakukan setiap orang, esensinya adalah menyampaikan pesan yang baik.

Indonesia adalah salah satu negara dengan banyak suku, kebudayaan dan keseniannya. Setiap daerah memiliki identitas keseniannya masing-masing. Peninggalan kebudayaan harus terus dilestarikan, karenanya menjadi jati diri bangsa Indonesia yang melekat dan tidak terpisahkan, jika diabaikan maka kebudayaan dan kesenian itu bisa jadi akan diambil oleh negara lain dan diakui sebagai warisan kebudayaan dan kesenian negaranya. Percepatan dan perkembangan dunia hari ini ke dunia digital begitu mengagetkan dan cepat, masyarakat Indonesia lebih sering berinteraksi dengan social media dibandingkan dengan bertemu secara langsung melalui satu genggaman tangan yaitu handphone. Percepatan perubahan ini membawa masyarakat Indonesia menjadi akulturalisasi dan cepat memberikan tanggapana atau pernyataan dalam situasi dan kondisi yang terjadi dalam social media.

Fenomena ini memiliki dampak positif dan negatif tentunya, jika tidak bijak dalam bermedia sosial maka akan banyak memberikan dampak yang justru negatif. Fenomena ceramah ustadz Khalid Basalamah yang menanggapi tentang wayang memicu banyak respon dan kontroversi, tentunya ini adalah persoalan yang seyogyanya dapat dimusyawarahkan dengan baik seperti prinsip dalam konstitusi kita, yaitu permusyawaratan. Dalam menanggapi hal ini banyak ulama yang merespon dengan membuat video di kanal Youtube mereka masing-masing dengan menjelaskan hukum-hukumnya dalam Islam, ada yang memaki melalui pesan singkat di media sosial, ada yang melaporkan kepolisian, dan sebagainya.

Bagi penulis, ada sesuatu masalah dalam bangsa ini yang sudah meninggalkan prinsip dasar dalam berbangsa dan bernegara, rakyat Indonesia seakan dipolarisasi dengan satu moment yang di propagandakan media dengan begitu masif adanya, ketenangan dalam menyikapi satu permasalahan seakan-akan harus selalu diproses secara hukum tanpa ampun, padahal seharusnya kita sebagai bangsa yang besar justru dapat memberi pemahaman dan saling mengingatkan dalam bertutur kata sebagai perbaikan di kemudian harinya.

Wayang merupakan kebudayaan dan kesenian Indonesia, Islam memperbolehkan pertunjukkan kesenian yang bernilai luhur dan keislaman, selain itu budaya musyawarah juga adalah jati diri kita sebagai bangsa yang besar, tidak cepat memaki dalam satu peristiwa yang terjadi melainkan mencoba untuk duduk bersama, bertabayun, dan “cek n ricek” sehingga terciptanya bernegara secara teduh dan ramah di antara masyarakatnya.

“Wayang pada hakikatnya mengajarkan pitutur luhur, bukan media menjelekkan satu kelompok dan kelompok lainnya.”

https://simlppm.untan.ac.id/vendor/terbaik-2024/https://lentera.uin-alauddin.ac.id/question/gratis-terlengkap/https://old-elearning.uad.ac.id/gampang-menang/https://fk.ilearn.unand.ac.id/demo/http://ti.lab.gunadarma.ac.id/jobe/system/https://elearning.uika-bogor.ac.id/tanpa-potongan/https://mti.unpam.ac.id/assets/images//https://besadu.belitung.go.id/css/https://uptdlkk.kaltimprov.go.id/img/product/https://jdih-dprd.sumedangkab.go.id/system/https://siswa.dpuair.jatimprov.go.id/tests/demo/https://simmas.jombangkab.go.id/vendor/https://siapmang.kotabogor.go.id/storage/https://e-learning.iainponorogo.ac.id/thai/https://alumni.fhukum.unpatti.ac.id/app/