Wawancara bersama Murizal, SP. Pemilik perkebunan pisang cavendish, Alumni Fakultas Pertanian UMJ.
Pada sesi wawancara kali ini, tim reportase Kantor Sekretariat Universitas Muhammadiyah Jakarta (KSU) mencoba menggali kenangan Murizal, seorang alumni dari Fakultas Pertanian, pemilik perkebunan pisang cavendish yang terletak di Karawang dan Jonggol. Murizal banyak menceritakan pengalaman seputar mahasiswa pertanian. Bersama teman-temannya, Murizal aktif belajar, berorganisasi, berkreasi, dan berprestasi baik di dalam maupun luar kampus. Bahkan, Murizal dan mahasiswa FTAN UMJ lainnya menjadi penggerak dan pendorong mahasiswa pertanian dari luar UMJ, termasuk IPB untuk aktif di Himpunan Kerukunan Tani Indonesia. Edisi kolom wawancara kali ini, spesial dalam rangka memperingati Milad UMJ ke 67 yang jatuh pada 18 November 2022. Kolom wawancara akan membagikan serpihan kecil kenangan yang dialami salah satu pelaku sejarah di UMJ.
Murizal, alumni Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Jakarta berkenan untuk membagikan cerita selama menuntut ilmu di UMJ yang ia mulai satu tahun setelah Orde Baru lengser. Lelaki yang kini beraktivitas di Laboratorium Kultur Jaringan dan Kebun Bibit Lebak Bulus milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ini antusias menceritakan setiap kenangan yang masih tersimpan dalam tumpukan foto, dan tentu ingatannya. Walaupun potongan-potongan kenangan yang ada di memori Murizal tidak bisa menggambarkan seluruh sejarah UMJ, tapi kenangan tersebut cukup berarti bagi Murizal karena selama kenal dengan UMJ, selama itulah kenangannya menjadi bara atas kecintaannya terhadap almamater.
Lelaki asal Pulau Sumatera ini nyatanya tidak hanya khatam mempelajari proses hidup padi, tapi juga menghayati filosofi padi. Ketika penulis meminta biodata, Murizal hanya mengirimkan sepenggal pesan singkat melalui aplikasi Whatsapp. Tidak banyak isi biodata yang ia tulis di kolom pesan, tapi justru ketika berjumpa, banyak hal luar biasa yang membuat tim reporter berdecak kagum. Semakin berat, semakin merunduk. Semakin sukses, semakin rendah hati. Saat ditemui di Laboratorium Kultur Jaringan dan Kebun Bibit di kawasan Lebak Bulus, Murizal nampak sangat santai dan hangat mempersilakan tim reportase untuk duduk di ruang tamu yang cukup hening, sebab jam kerja kantor sudah berakhir.
Sejak awal bercerita, Murizal menggambarkan first impression-nya terhadap UMJ yang kurang bagus. Tampilan luar kampus UMJ zaman itu tidak megah sama sekali (dibandingkan dengan UMJ masa kini).
Orang-orang tahunya kampus itu STIE AD, karena posisinya di depan jalan raya.Ternyata (UMJ) ada di bawah, terus ke bawah, jauh lagi.
Cerita awal Murizal berhasil memancing tawa seluruh isi ruang tamu Kantor Laboratorium sore itu. Penulis menyimak sambil membayangkan perjalanan menuju kampus UMJ dari jalan raya, yang harus melewati jalan turunan curam, dan belokan tajam. Komedi ringan di kalangan mahasiswa tentang letak geografis kampus UMJ ternyata sudah muncul sejak lama. Sekedar intermeso, bahkan banyak yang membuat plesetan dari nama UMJ, misalnya Universitas Masuknya Jauh.
Namun bagi alumni seperti Murizal (dan penulis tentunya yang juga alumni), hal itu jadi kenangan tersendiri yang mewarnai setiap waktu yang dihabiskan di UMJ. Walaupun ‘masuknya jauh,’ Murizal tidak tergoda untuk belok ke kampus lain. Niatnya yang begitu kuat untuk mendaftar sebagai mahasiswa Program Studi Arsitektur Lansekap di Fakultas Pertanian berhasil mengalahkan jalan turunan curam dan belokan tajam tadi. Informasi penerimaan mahasiswa baru FTAN UMJ yang ia lihat di baliho daerah Ciputat menjadi modal dan semangat Murizal.
Ceritanya saya daftar dan ikut ujian masuk. Ternyata dari lima orang (yang daftar) cuma tiga orang yang datang. Pertanian ada dua jurusan, Agronomi sama Arsitektur Lansekap, karena mahasiswa yang daftar sedikit, maka kelas tidak dibuka. Jadi kan saya bingung. Sementara saya gak ngerti pertanian.
Ketertarikan Murizal pada arsitektur lansekap tidak terlepas dari kegemarannya pada seni gambar sejak kecil ditambah setelah lulus SMA, Murizal dipertemukan dengan arsitek lansekap di Jakarta dan ikut mengerjakan proyek pembangunan lansekap di beberapa tempat. Baliho pendaftaran yang terpampang di Ciputat menggugah semangat anak rantau kelahiran 6 Mei 1975 itu. Kecewa mulai dirasakan Murizal yang tidak bisa belajar lansekap di bangku kuliah. Ia akui, niat untuk daftar di perguruan tinggi lain sudah ada, tapi kekhawatiran akan ketidakmampuan membayar biaya kuliah juga jadi pertimbangan kuat.
Pada saat itu, nyatanya Allah bukakan pintu hati Murizal melalui salah satu dosen FTAN UMJ yang bernama Elvi Nurzaini. Elvi, menyarankan Murizal untuk tetap melanjutkan niatnya berkuliah di UMJ walaupun tidak di Program Studi Arsitektur Lansekap dan belajar lansekap pada senior yang telah lebih dulu mempelajari lansekap di UMJ. Hati Murizal luluh dan menetapkan niatnya untuk kuliah Prodi Agronomi.
Singkat cerita, lama-lama senang (kuliah di UMJ). Yang awalnya kuliah di Gedung FISIP (Gedung Perintis 1, saat ini Gedung FAI), akhirnya mau kuliah di bawah, kaya kuliah alam. Kadang-kadang kuliah pake sarung dan peci, tapi lama-lama nyaman.
Murizal mengakui, kemewahan gedung kampus tidak menjadi jaminan kenyamanan bisa hadir di tengah kehidupan. Kesederhanaan itu justru membantu mahasiswa Agronomi mengasah kemampuan bertani. Pada zaman belum banyak fakultas berdiri, UMJ memiliki cukup banyak lahan kosong yang dimanfaatkan mahasiswa Agronomi sebagai laboratorium. Lahan kosong yang saat ini berdiri Gedung Fakultas Kedokteran dan Kesehatan, pernah diolah hingga rapi. Itu menjadi portofolio mahasiswa Agronomi sehingga FTAN dikenal oleh warga kampus UMJ.
Sampai lahan di Fakultas Kedokteran pernah kami olah, sampai rapih betul. Kami juga jadi dikenal gara-gara itu. Dari situ, saya makin suka sama pertanian, tapi pekerjaan landscape masih jalan. Bedanya, landscape berhubungan dengan tanaman sudah jadi (bentuk tanaman), kalau pertanian, tanaman belum jadi (dari pembenihan, pembibitan, dll). Sebelum lulus, kami membuat seminar nasional, bikin acara tiga hari tiga malam. Kegiatan itu juga didukung sama rektor, Bu Masyitoh.
Murizal, anak rantau yang punya tekad kuat ini tidak berhenti berkarir di bidang lansekap. Hubungan pertemanannya dengan seorang arsitek lansekap memberikan ruang belajar dan peluang bagi Murizal mengembangkan ilmu dan kegemarannya. Selama kuliah di UMJ, banyak kisah yang telah dilalui. Dari ceritanya, Murizal menunjukkan betapa berkesannya kuliah di UMJ bersama dengan dosen-dosen berkualitas yang memiliki niat tulus dalam mengajar. Belajar dan tumbuh bersama dengan mahasiswa lainnya sehingga dapat membawa Fakultas Pertanian meraih akreditasi B.
Buat saya, dosen enak semua. Dosen yang senang mengajar dan belajar, tidak mencari keuntungan. Saya dekat dengan UMJ karena saya banyak kenangan. Jadi di UMJ itu kekeluargaan, tidak ada tekanan. Akhirnya makin semangat. Banyak suka-duka tentang kampus. Pagarnya gak jelas. Dari mana aja orang bisa masuk. Itulah lucu-lucuannya begitu. Tapi seru aja. Gak ada pagar, gak ada gerbang. Kalau orang demo itu manjat pagar, kita gak ada pagar. Apa yang mau dipanjat? Tapi rata-rata betah, karena tempatnya (suasana).
Kemewahan itu tidak menentukan nyaman atau tidak, tergantung kitanya.
Pengalaman kebanjiran saat kuliah, paling membuat gelak tawa. Totalitas seorang Murizal bahkan terlihat ketika ia menceritakan suasana kelas yang dilanda banjir. Saat itu, Murizal yang bercerita dalam posisi duduk di kursi, mengangkat kakinya ke atas kursi demi bisa memperlihatkan suasana kebanjiran saat itu, tawa kembali mengikuti bagian cerita itu.
Lagi belajar, banjir, karena hujan. Saluran di belakang FTAN kan kecil, akhirnya banjir. Sambil belajar, kaki naik ke atas kursi.
Ia mengaku mahasiswa satu jurusannya memiliki kekompakan yang cukup baik. Banyak kegiatan yang mereka lakukan bersama, selain menggarap lahan kosong di sekitar UMJ. Salah satunya yang cukup membekas di hati Murizal adalah kegiatan seminar nasional yang mengundang pejabat pemerintahan dan ahli pertanian. Gagasan tentang pertanian perkotaan menjadi isu yang menarik kemudian diangkat oleh Murizal dkk., dan menghadirkan Kementerian Pertanian, Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Siswono Yudohusodo, dan Dirut PT Sang Hyang Seri.
Dulu (bertani) pakai lahan, sekarang pakai alat. Bentuknya vertikal. Tidak ada masalah. Segala perubahan, kita harus bisa beradaptasi, yang jelas ada maketnya sehingga bisa dikembangkan di tempat yang luas. Pertanian perkotaan itu yang saya angkat di Seminar Nasional tahun 2003. Secara konsep (pertanian perkotaan) sudah ada. Kami undang Kementerian Pertanian, Ketua Umum HKTI, Pak Siswono Yudohusodo, Pejabat Sang Hyang Seri. Saya sendiri yang ngerjain dia sampe datang. Ceritanya lucu. Yang paling sulit diundang adalah Pak Budi, Dirut Sang Hyang Seri produk padi di Indonesia.
Sejak awal bercerita, laki-laki yang pernah menjabat sebagai Ketua Pembina Pemuda Pertanian se indonesia pada 2006 ini, telah menjanjikan cerita lucu pada penulis. Katanya, ia sempat ‘mengerjai’ Pak Budi saat memberikan undangan untuk hadir dan menjadi narasumber. Murizal nekat datang ke kantor Pak Budi dan mengaku-ngaku pada petugas keamanan (security) bahwa sudah membuat janji sebelumnya. Petugas keamanan berhasil dilewati. Ia kemudian bergegas masuk dan berpapasan dengan Pak Budi sesaat sebelum pergi. Murizal berhasil memberikan undangan pada Budi walau harus menerima marah terlebih dulu karena menyebarkan pamflet kegiatan sebelum mengundang. Dari cerita Murizal, Budi semakin kesal padanya karena sudah ada tanda tangan Menteri Pertanian.
Pak Budi marah, karena kami sebar pamflet dulu baru ngundang. Udah ada tanda tangan menteri juga, saya kunci dia. Eh… Pulang dikasih duit. Waktu seminar, Pak Budi datang ke kampus. Ketemu saya terus bilang “Hebat kamu ngerjain saya” sambil nepuk bahu saya.
Bukan Murizal namanya kalau tidak cerita dengan tawa. Kisah dimarahi Dirut Sang Hyang Seri menjadi salah satu kenangan yang sangat berkesan. Seminar Nasional membawa UMJ dikenal banyak kampus, sebab mahasiswa dari berbagai kampus datang untuk mengikuti kegiatan. Bahkan Murizal mengaku bahwa mahasiswa UMJ lah yang mengajak mahasiswa pertanian dari berbagai kampus termasuk IPB, untuk bergabung dan aktif di HKTI.
Dari awalnya tidak paham bahkan untuk tertarik sekalipun pada bidang pertanian, Murizal malah kelewat aktif dalam berbagai kegiatan dan organisasi. Beberapa kali ia dan teman-temannya menoreh prestasi. Salah satunya menjuarai ajang rancang produk pertanian dengan tema Etnik Papua tingkat internasional bertajuk Agro and Food yang digelar di Jakarta Convention Center. Begitu juga dengan organisasi, sebut saja Ikatan Senat Mahasiswa Pertanian Indonesia (ISMPI), Himpunan Mahasiswa Agronomi (Himagri), dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), menjadi wadah bagi Murizal bertumbuh, berkembang, dan menempa mentalitas.
Prospek di pertanian itu bagus. Pada saat kuliah harus ditekankan praktiknya, mentalitasnya harus bagus. Peluang kerja juga banyak. Saya coba share ke adik-adik untuk tidak menjadi job seeker, tapi entrepreneur. Kalau bisa pastikan dulu sebelum lulus bisa nyangkul, nyangkok, bisa budidaya. Jangan cuma IPK besar tapi setelah lulus tidak tau apa-apa. Buat apa?
Berkali-kali, laki-laki yang hobi menggambar sejak usia SMP ini tegas menyatakan bahwa mental kuat harus dimiliki oleh anak muda. Menurut Murizal, kuliah bidang pertanian harus sering keluar kelas, belajar langsung di lahan pertanian dan menemukan banyak hal yang dapat mengajarkan mahasiswa fakta di lapangan. Perkara sengketa lahan, menghadapi petani desa, dan sebagainya, merupakan bumbu yang dirasakan konsultan pertanian ini saat mengawali karir di bidang pertanian.
Pertanian itu ketemunya dengan banyak background orang. Di kelas saat kuliah kan ga ada diajarin begitu (menghadapi masalah di lapangan yang berbagai macam). Petani (desa) itu taunya insinyur serba tahu, sampai anaknya sakit, tanya obat juga ke kita.
Langkah dan perjuangannya sejak masuk UMJ hingga saat ini lihai mengelola perkebunan juga merumuskan perencanaan bisnis bidang pertanian tidak diraih dengan mudah. Seperti yang diceritakan di awal kisah, Pengurus Pusat Perhimpunan Ikatan Sarjana Pertanian Bidang Advokasi dan Hukum ini tidak pernah tertarik dengan pertanian kecuali arsitektur lansekap. Namun suka dan tidak suka adalah soal perasaan di hati yang dapat berubah sewaktu-waktu. Seiring berjalannya waktu, semakin banyak belajar semakin tahu tentang tanaman, akhirnya Murizal berhasil menaruh hati pada pertanian.
Saking senang belajar dan bereksperimen, Murizal pernah membudidaya tanaman sayur kangkung di lahan milik kampus dan menjualnya ke Pasar Ciputat. Setelah salat subuh, sekitar pukul 04.30 hingga 08.00 pagi, tidak ada satu ikat kangkung pun yang laku terjual.
Pertama kali saya tanam kangkung di kampus. Habis subuh saya jual pakai mobil bak. Saya termasuk penjual pertama di pasar. Setengah lima sampai jam delapan, gak ada yang beli.
Ada ibu-ibu lewat, bilang,”Dek, kangkungnya gak laku ya? Kangkung kamu jelek sih.”
Dari situ saya termotivasi untuk belajar gimana caranya budidaya itu bagus. Pedagang yang lain pada laku dan habis. Dari situ saya pelajari, oooh ternyata ada tekniknya. Begitu juga tanaman lain.
Laki-laki berusia 47 tahun ini tak pernah berhenti belajar hingga pergi ke luar daerah untuk mengetahui karakteristik lahan pertanian dan menemukan berbagai macam wawasan baru untuk mengembangkan keahliannya.
Sebagai alumni, Murizal senang masih berhubungan baik dan dekat dengan UMJ, terkhusus dengan Fakultas Pertanian. Beberapa tahun silam, ia kembali menunjukkan kebolehannya dalam merancang lansekap taman di area kampus UMJ.
Salah satu karya saya di UMJ itu Taman UMJ, yang ada tulisan University of Muha mmadiyah Jakarta 1955. Akhirnya dibangun musala. Dulu saya buat master plan dari depan (gerbang parkir) sampai FEB (Fakultas Ekonomi dan Bisnis).
Setelah mengatakan hal yang cukup membuat penulis berdecak kagum, Murizal beranjak dari kursi dan masuk ke ruangan yang tepat berada di belakangnya. Kurang dari lima menit, ia kembali dengan membawa setumpuk kertas dan album foto. Tumpukan kertas itu lalu digelar di atas meja, mungkin sekitar 6-8 lembar kertas. Ternyata itu adalah rancangan taman yang Murizal buat untuk UMJ pada masa Rektor Prof. Syaiful Bakhri (alm). Kumpulan gambar rancangan taman dibuat Murizal dengan tangannya sendiri, bukan aplikasi di komputer. Gambarnya sangat detail, mirip dengan tampilan yang saat ini terpampang.
Tak disangka, tim reportase KSU bertemu dengan sosok di balik Taman UMJ yang juga banyak disebut orang sebagai Taman Selfie-karena banyak orang selfie di sana-tempat yang dimanfaatkan mahasiswa UMJ untuk sekedar nongkrong, menikmati jajanan di sore hari, diskusi, atau kajian. Tumpukan album foto UMJ tempo dulu tak kalah menarik perhatian. Namun foto ini hanya sebagian. Ia bilang, tsunami telah banyak menghanyutkan kenangan dan jejak prestasi mahasiswa UMJ.
Banyak sejarah, dan arsip prestasi yang hilang, hanyut kena tsunami.
Kata Murizal, saat ditanya soal dokumentasi piala, sertifikat, dan saat lomba atau kegiatan mahasiswa. Bencana meluapnya air bendungan Situ Gintung pada 2009 silam menghanyutkan sebagian besar arsip, dokumentasi, memori, jejak sejarah, dan kenangan warga UMJ. Melalui ilmu pertanian yang dimiliki, Murizal bercita-cita ingin mendirikan sekolah.
Cita-cita saya…
Pertama, anak muda kalau bisa, lulus itu orientasinya ke pertanian. Lahan Indonesia itu kan luas ya. Saya mau mencetak anak muda jadi pengusaha pertanian. Kedua, saya mau bikin pesantren yang benar-benar mandiri, tidak bergantung pada donatur atau biaya sekolah dari murid. Jadi (guru dan santri) tidak hanya tau masalah agama, tapi masalah dunianya juga ngerti. Nanti guru tidak mengharapkan (imbalan) dari murid, karena pesantrennya mandiri. Saya maunya pesantren modern. Walaupun anak santri jadi da’i, tapi mandiri lewat pertanian. Jadi berkelanjutan nanti.
Selesai diajak nostalgia lewat foto UMJ tempo dulu, Murizal mengajak tim reportase berkeliling laboratorium, melihat proses tumbuh kembang tanaman anggrek dan pisang. Tak lupa Murizal memberikan souvenir pada tim reportase KSU, masing-masing satu pohon anggrek berusia kurang lebih 6-12 bulan.
Memperingati Milad UMJ Ke 67, Murizal memberikan kesan dan harapan untuk UMJ.
Dear, UMJ.
Saya alumni Fakultas Pertanian angkatan terakhir abad 20, zaman peralihan dari DOS – Pentium, Disket – Flashdisk. Walaupun sederhana, saat kuliah banyak kenangan yang didapat. Salah satunya, kampus asri dan alami. Saat kuliah, UMJ dikenal kekeluargaannya sangat tinggi, baik antara mahasiswa dengan dosen dan juga karyawan. Sisi lainnya, salah satu yang paling unik karena kampus dekat warga dan tidak ada pagar. Butuh waktu untuk kenal mana mahasiswa dan mana warga.
Harapannya, UMJ tambah maju dan profesional, serta menjalin hubungan baik dengan seluruh alumni.
Salam,
Murizal, SP. (F-Tan ’99)